Sesar adalah rekahan mode 2 atau 3 yang mengalami propagasi sehingga menghasilkan pergerakan (McClay, 1996). Sesar geser (strike slip) adalah sesar terbentuk akibat pelepasan tegasan secara lateral pada arah sumbu tegasan normal terkecil dan pemendekan pada arah sumbu tegasan normal terbesar.
Secara teori, konsentrasi tegasan di suatu rintangan sesar (fault barrier) yaitu titik pertemuan dua sesar geser akan berkembang rekahan mode 3. Hal ini telah diuji oleh Segalt dan Pollard (1980) dan Rodgers (1980) dalam Davison (1994) (Gambar 1). Bagaimana pun, hal ini harus diingat bahwa analisis tegasan tersebut hanya tepat untuk perpindahan kecil di sekitar media yang elastis homogen dan ketika untaian kedua sesar berkembang dengan segera. Perhitungan tegasan di sekitar titik pertemuan mengindikasikan bahwa ketika proses transtensional (jogs, step) menghasilkan daerah yang meregang, di mana dinding bagian luar menjadi panjang sehingga rekahan tensil dan rekahan berpasangan akan terbentuk di antara dua sesar (Gambar 1b). Proses transtensional ini dihasilkan oleh rejim ekstensional pada garis sesar geser. Jika rekahan tensil berkembang bersama-sama dengan untaian dua sesar, pergerakan bisa berkembang di sepanjang mata rantai sesar tersebut. Rekahan tensil cenderung bergerakan jauh dari titik pertemuan dan kemudian berkembang sesar akibat gaya kompresi yang menghasilkan proses transpressional (Gambar 1a). Proses transpressional disebabkan komponen friksi tinggi yang dihasilkan oleh tegasan normal. Orientasi sesar geser di daerah titik pertemuan dapat juga diprediksi. Hal ini bergantung pada pertemuan sesar, spasi, kekakuan (rigidity) batuan, dan mode rekahan (Gambar 2) (Woodcock dan Fischer, 1986 dalam Davison, 1994). Sesar geser yang menghasilkan model pergerakan transtensional dan transpressional. Dalam model tersebut dicirikan bidang sesar yang menerus (bend) dan bidang sesar yang tidak menerus (overstep).
Gambar II.1 Kenampakan peta dari sesar strike slip overlapping menunjukkan jejaring tegasan secara teoritis di dalam medium isotropis; a. Kondisi transpresional; b. Kondisi transtensional (Segall & Pollard, 1980 dalam dalam Davison, 1994).
Model percobaan sesar geser dengan perpindahan 10 cm dalam pasir kering lepas dan lempung menunjukkan bagaimana sesar geser Reidel dengan progresif bergabung bersama-sama memotong sesar geser P yang berkembang belakangan menghasilkan suatu jaring kepang (braided) bidang sesar geser (dalam Tchalenko, 1970; Naylor dkk., 1980 dalam Davison, 1994) (Gambar 2).
Gambar 2 (a) Diagram yang mengindikasikan evolusi sesar geser menghasilkan hubungan R shear terisolasi dan P shear dalam model lempung (clay model) (Dooley, 1994 tidak dipublikasikan dalam Davison, 1996). (b) Skema tegasan yang disebabkan oleh R shear dan P shear (Mandl, 1988 dalam Davison, 1994). (c) Perkembangan rekahan tarik yang memotong sesar (Davison, 1994).
Hubungan sesar geser di lapangan, offest dan bifurkasi di dalam sesar strike slip menyebabkan area kompresi dan tarikan. Transtensional akan menghasilkan pull apart basin/cekungan sedangkan transpressional akan menghasilkan push up, deretan pegunungan.
Hubungan sistem ekstensional di penampang cross–section, sesar geser biasanya menunjukkan kemiringan yang curam dari PDZ (principle displacement zone) yang mana berhubungan dengan sesar sampai cabang sesar ke arah luar dari dasar yang curam sampai permukaan. Pada mekanisme pure shear, Reider shear akan mendominasi. Di sepanjang PDZ akan menghasilkan cekungan sedimen yang bisa membentuk struktur bunga. Belokan PDZ merupakan zona lemah dari lapisan subhorisontal yang membentuk detachment bagian atas yang disebut sesar cembung ke atas (palm structure), sedangkan kombinasi gaya transform dengan tensional akan menghasilkan sesar listrik atau tulips structure, dengan bentuk sesar cekung ke bawah (Gambar 3).
Gambar 3 Blok diagram yang menunjukkan bagian dari sesar geser (Davison, 1994).
Referensi :
Davison, 1994. Linked Fault Systems; Extensional, Strike Slip and Contractional. Continnental Deformation. Pergamon Press.
Sapiie, B. dan Harsolumakso A.H., 2008. Prinsip dasar geologi. Lab. Geologi Dinamik. Program studi teknik geologi, FITB-ITB. Tidak dipublikasihkan.
Minggu, 16 Januari 2011
SESAR AKTIF
Menurut Keller dan Pinter (1996) sesar aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 10.000 tahun yang lalu. Sesar berpotensi aktif adalah sesar yang pernah bergerak pada kurun waktu 2 juta tahun yang lalu. Sedangkan sesar tidak aktif adalah sesar yang belum/tidak pernah bergerak dalam kurun waktu 2 juta tahun yang lalu. Sesar aktif (Huzita dkk., 1992) adalah sesar yang bergerak pada jaman Kuarter dan berpotensi untuk bergerak kembali pada masa yang akan datang. Sesar tersebut memotong permukaan morfologi berumur Kuarter, memotong batuan Kuarter, sesar pada daerah gunungapi yang bergerak pada periode pendek (selama masa letusan gunungapi), dan sesar normal yang dapat diamati pada pegunungan akibat gaya gravitasi.
Morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentukan lahan (Stewart dan Hancock, 1994). Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan proses tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi ruang dan tektonik mempunyai dimensi waktu. Bentukan lahan tektonik akan mengekspresikan bentukan topografi yang dapat dijadikan indikator telah terjadi pergerakan tektonik. Bentuk topografi yang telah mengalami perpindahan dapat terlihat dan teramati melalui foto udara dan citra yang memberikan kenampakan morfotektonik berupa pola aliran sungai, perpindahan perbukitan, pembelokan sungai, kelurusan, gawir sesar, dan kenampakan teras sungai. Sedangkan bentuk topografi yang mengalami pergerakan pada umur yang lebih tua akan sulit diamati oleh foto udara karena telah tertutup oleh sedimentasi dan tererosi. Pada gambar 1 menampilkan contoh morfologi yang terbentuk akibat sesar aktif.
Morfometri didefinisikan sebagai pengukuran kuantitatif bentuk bentang alam. Secara ringkas suatu bentang alam dapat diidentifikasi melalui karakteristik ukuran, elevasi (maksimum, minimum atau rata–rata), dan lereng (Keller dan Pinter, 1996). Pengukuran kuantitatif mengikuti kaidah geomorfologi sebagai obyek membandingkan bentuk lahan dan menghitung parameter secara langsung (indikasi geomorfik) yang sangat berguna untuk identifikasi karakteristik dan tingkatan aktivitas tektonik suatu wilayah. Beberapa indikasi geomorfik penting yang umumnya digunakan untuk studi tektonik aktif adalah:
Kurva hipsometrik (hyrsometric curve).
Basin asimetri (drainage basin asymmetry).
Gradien indek panjang sungai (stream length–gradient index).
Pegunungan muka (mountain front sinuosity).
Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height).
Gambar 1. Bentukan lahan berkaitan dengan sesar aktif strike slip (Borcherdt, 1975 dalam Keller dan Pinter, 1996).
Hasil dari indikasi geomorfik tersebut dapat dikombinasikan dengan data/informasi lainnya seperti kecepatan pengangkatan/kemiringan untuk menghasilkan tingkatan aktivitas tektonik yang secara luas bisa sebagai dasar prakiraan/penafsiran tingkatan relatif aktivitas tektonik pada suatu daerah. Dengan melakukan perhitungan indikasi geomorfik tersebut dapat digunakan untuk membuat sistem kelas tektonik aktif menjadi tektonik sangat aktif, aktif sedang, dan tidak aktif. Dasar dari klasifikasi tektonik aktif dapat mendeliniasi suatu daerah untuk studi detil identifikasi struktur aktif dan menghitung kecepatan proses tektonik aktif.
• Kurva hipsometrik (hyrsometric curve)
Kurva hipsometrik menggambarkan distribusi elevasi melintang suatu daerah dari sebuah drainage basin atau sub drainage basin pada suatu daerah. Kurva ini dibuat dengan pengeplotan perbandingan ketinggian dan luas drainage atau sub drainage basin suatu daerah dari peta topografi. Skala peta topografi yang digunakan baik itu skala besar maupun kecil, tidak akan memberikan dampak pada perhitungan hipsometrik. Adapun metoda pembuatan pembuatan kurva hipsometrik dengan mencari perbandingan antara beda tinggi untuk sumbu y dan perbandingan luas drainage basin untuk sumbu x, seperti tercantum pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Metode pembuatan kurva hipsometrik (Strahler, 1952 dalam Keller
dan Pinter, 1996).
Dari hasil penggambaran kurva hipsometrik berdasarkan polanya dapat diinterpretasikan bentuk lahan topografi. Masing-masing pola kurva hipsometrik dapat mencerminkan bentuk lahan stadium muda, menengah, dan tua seperti tercantum pada gambar 3. Bentuk lahan stadium muda mencerminkan pengangkatan tektonik berupa torehan dalam dan bentuk relief kasar. Sedangkan bentuk lahan pada stadium menengah mencerminkan keseimbangan proses geomorfik antara pengangkatan dan erosi. Bentuk lahan stadium tua mencerminkan topografi relief halus dan proses erosi sangat dominan dibandingkan tektonik.
Gambar 3 Bentuk kurva hipsometrik yang mencerminkan topografi stadium muda (A), stadium menengah (B), dan stadium tua (C) untuk analisis tektonik aktif (Strahler, 1952 dalam Keller dan Pinter, 1996).
• Faktor asimetri sungai (drainage basin asymmetry)
Geometri jejaring sungai dapat dijelaskan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Faktor asimetri (AF) dapat memberikan informasi deformasi tektonik aktif dengan membedakan pola dan geometri. Faktor asimetri merupakan salah satu analisis kuantitatif drainage basin untuk mendeteksi kemiringan tektonik (tectonic tilting) baik pada skala drainage basin kecil maupun luas (Keller dan Pinter, 1996 dan Pinter, 1996). Harga faktor asimetri sangat mudah diperoleh dari peta topografi dan metode perhitungan tercantum pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4 Metoda perhitungan faktor asimetri (Keller dan Pinter, 1996).
Di mana Ar = luas cekungan di sebelah kanan dari tubuh aliran sungai, dan At = luas total dari cekungan sungai. Dari hasil perhitungan faktor asimetri, apabila harga yang diperoleh (AF = 50) maka daerah tersebut relatif stabil, artinya proses tektonik yang bekerja sangat kecil. Apabila nilai AF lebih besar atau kurang dari 50, maka terjadi kemiringan akibat tektonik. Metode ini sangat bagus diterapkan pada drainage basin yang mendasarinya pada batuan yang sama. Metode ini cukup baik untuk aplikasi tektonik karena tidak terpengaruh oleh faktor litologi (seperti perlapisan batuan sedimen) maupun iklim lokal (seperti perbedaan vegetasi).
• Gradien indek panjang sungai (stream length – gradient index)
Indek gradien panjang sungai (SL) dihitung dari peta topografi berdasarkan persamaan: SL = (Δ H/ ΔL) x L.
Di mana: Δ H merupakan beda elevasi dari titik yang akan dihitung.
Δ L merupakan panjang sungai hingga titik yang akan dihitung.
L merupakan total panjang sungai hingga ke arah hulu dengan titik yang akan dihitung.
Adapun metode perhitungannya tercantum pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5 Metode perhitungan gradien indeks panjang sungai (Keller dan
Pinter, 1996).
Indek SL sangat sensitif untuk terhadap perubahan lereng sungai. Tingkatan sensitivitas ini dapat untuk mengevaluasi hubungan antara tektonik aktif, resistensi batuan, dan topografi. Indek SL dapat digunakan untuk identifikasi tektonik aktif saat sekarang, dengan hasil indek SL tinggi. Suatu daerah yang memiliki nilai indek SL rendah bisa juga merupakan tektonik aktif sekarang, contohnya sepanjang lembah linier akibat pergerakan sesar mendatar dan nilai indek SL akan rendah karena sepanjang lembah telah hancur akibat pergerakan sesar mendatar.
• Pegunungan muka (mountain front sinuosity).
Pegunungan muka (mountain front sinuosity) merupakan rangkaian pegunungan yang terdapat pada bagian depan/muka. Pegunungan muka (Smf) dapat dihitung menggunakan persamaan: Smf = Lmf / Ls.
Lmf adalah panjang pegunungan muka sepanjang bagian bawah.
Ls adalah panjang secara lurus pegunungan muka.
Gambar 6 Metode perhitungan pegunungan muka (Keller dan Pinter,
1996).
Smf merupakan suatu indek yang mencerminkan keseimbangan antara gaya/ kekuatan erosi yang mempunyai kecenderungan memotong sepanjang lekukan pegunungan muka dan kekuatan tektonik yang menghasilkan secara langsung pegunungan muka dan bertepatan dengan zona sesar aktif yang mencerminkan tektonik aktif. Smf dengan nilai rendah berkaitan dengan tektonik aktif dan pengangkatan secara langsung. Apabila kecepatan pengangkatan berkurang, maka proses erosi akan memotong pegunungan muka secara tak beraturan dan nilai Smf akan semakin bertambah. Smf sangat mudah untuk dihitung dari peta topografi atau foto udara dengan skala besar dan resolusi tinggi. Apabila menggunakan skala kecil, maka lekukan pegunungan muka yang berbentuk tidak teratur tidak akan tercermin dengan baik.
• Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height)
Rasio lebar dan tinggi lembah (Vf) diekspresikan dengan persamaan
Vf = 2 Vfw / ( Eld – Esc ) + ( Erd – Esc )
Vfw adalah lebar dasar lembah.
Eld dan Erd adalah elevasi bagian kiri dan kanan lembah.
Esc adalah elevasi dasar lembah.
Nilai Vf tinggi berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan rendah, sehingga sungai akan memotong secara luas pada dasar lembah dan bentuk lembah akan semakin melebar. Sedangkan nilai Vf rendah akan merefleksikan lembah dalam dan mencerminkan penambahan aktivitas sungai, hal ini berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan. Gambar 7 menampilkan metode perhitungan Vf.
Gambar 7 Metode perhitungan rasio lebar dan tinggi lembah (Keller dan
Pinter, 1996).
Referensi :
Keller, E.A., and Pinter, N. 1996. Active tectonic earthquake, uplift and landscape, Prentice hall, Upper saddle river, New Jersey.
Morfotektonik mempelajari tentang segala hal menyangkut hubungan antara struktur geologi dengan bentukan lahan (Stewart dan Hancock, 1994). Morfotektonik akan dipengaruhi oleh kondisi morfologi dan proses tektonik yang terjadi pada masa lalu, karena morfologi memiliki dimensi ruang dan tektonik mempunyai dimensi waktu. Bentukan lahan tektonik akan mengekspresikan bentukan topografi yang dapat dijadikan indikator telah terjadi pergerakan tektonik. Bentuk topografi yang telah mengalami perpindahan dapat terlihat dan teramati melalui foto udara dan citra yang memberikan kenampakan morfotektonik berupa pola aliran sungai, perpindahan perbukitan, pembelokan sungai, kelurusan, gawir sesar, dan kenampakan teras sungai. Sedangkan bentuk topografi yang mengalami pergerakan pada umur yang lebih tua akan sulit diamati oleh foto udara karena telah tertutup oleh sedimentasi dan tererosi. Pada gambar 1 menampilkan contoh morfologi yang terbentuk akibat sesar aktif.
Morfometri didefinisikan sebagai pengukuran kuantitatif bentuk bentang alam. Secara ringkas suatu bentang alam dapat diidentifikasi melalui karakteristik ukuran, elevasi (maksimum, minimum atau rata–rata), dan lereng (Keller dan Pinter, 1996). Pengukuran kuantitatif mengikuti kaidah geomorfologi sebagai obyek membandingkan bentuk lahan dan menghitung parameter secara langsung (indikasi geomorfik) yang sangat berguna untuk identifikasi karakteristik dan tingkatan aktivitas tektonik suatu wilayah. Beberapa indikasi geomorfik penting yang umumnya digunakan untuk studi tektonik aktif adalah:
Kurva hipsometrik (hyrsometric curve).
Basin asimetri (drainage basin asymmetry).
Gradien indek panjang sungai (stream length–gradient index).
Pegunungan muka (mountain front sinuosity).
Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height).
Gambar 1. Bentukan lahan berkaitan dengan sesar aktif strike slip (Borcherdt, 1975 dalam Keller dan Pinter, 1996).
Hasil dari indikasi geomorfik tersebut dapat dikombinasikan dengan data/informasi lainnya seperti kecepatan pengangkatan/kemiringan untuk menghasilkan tingkatan aktivitas tektonik yang secara luas bisa sebagai dasar prakiraan/penafsiran tingkatan relatif aktivitas tektonik pada suatu daerah. Dengan melakukan perhitungan indikasi geomorfik tersebut dapat digunakan untuk membuat sistem kelas tektonik aktif menjadi tektonik sangat aktif, aktif sedang, dan tidak aktif. Dasar dari klasifikasi tektonik aktif dapat mendeliniasi suatu daerah untuk studi detil identifikasi struktur aktif dan menghitung kecepatan proses tektonik aktif.
• Kurva hipsometrik (hyrsometric curve)
Kurva hipsometrik menggambarkan distribusi elevasi melintang suatu daerah dari sebuah drainage basin atau sub drainage basin pada suatu daerah. Kurva ini dibuat dengan pengeplotan perbandingan ketinggian dan luas drainage atau sub drainage basin suatu daerah dari peta topografi. Skala peta topografi yang digunakan baik itu skala besar maupun kecil, tidak akan memberikan dampak pada perhitungan hipsometrik. Adapun metoda pembuatan pembuatan kurva hipsometrik dengan mencari perbandingan antara beda tinggi untuk sumbu y dan perbandingan luas drainage basin untuk sumbu x, seperti tercantum pada gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2 Metode pembuatan kurva hipsometrik (Strahler, 1952 dalam Keller
dan Pinter, 1996).
Dari hasil penggambaran kurva hipsometrik berdasarkan polanya dapat diinterpretasikan bentuk lahan topografi. Masing-masing pola kurva hipsometrik dapat mencerminkan bentuk lahan stadium muda, menengah, dan tua seperti tercantum pada gambar 3. Bentuk lahan stadium muda mencerminkan pengangkatan tektonik berupa torehan dalam dan bentuk relief kasar. Sedangkan bentuk lahan pada stadium menengah mencerminkan keseimbangan proses geomorfik antara pengangkatan dan erosi. Bentuk lahan stadium tua mencerminkan topografi relief halus dan proses erosi sangat dominan dibandingkan tektonik.
Gambar 3 Bentuk kurva hipsometrik yang mencerminkan topografi stadium muda (A), stadium menengah (B), dan stadium tua (C) untuk analisis tektonik aktif (Strahler, 1952 dalam Keller dan Pinter, 1996).
• Faktor asimetri sungai (drainage basin asymmetry)
Geometri jejaring sungai dapat dijelaskan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Faktor asimetri (AF) dapat memberikan informasi deformasi tektonik aktif dengan membedakan pola dan geometri. Faktor asimetri merupakan salah satu analisis kuantitatif drainage basin untuk mendeteksi kemiringan tektonik (tectonic tilting) baik pada skala drainage basin kecil maupun luas (Keller dan Pinter, 1996 dan Pinter, 1996). Harga faktor asimetri sangat mudah diperoleh dari peta topografi dan metode perhitungan tercantum pada gambar 4 dibawah ini.
Gambar 4 Metoda perhitungan faktor asimetri (Keller dan Pinter, 1996).
Di mana Ar = luas cekungan di sebelah kanan dari tubuh aliran sungai, dan At = luas total dari cekungan sungai. Dari hasil perhitungan faktor asimetri, apabila harga yang diperoleh (AF = 50) maka daerah tersebut relatif stabil, artinya proses tektonik yang bekerja sangat kecil. Apabila nilai AF lebih besar atau kurang dari 50, maka terjadi kemiringan akibat tektonik. Metode ini sangat bagus diterapkan pada drainage basin yang mendasarinya pada batuan yang sama. Metode ini cukup baik untuk aplikasi tektonik karena tidak terpengaruh oleh faktor litologi (seperti perlapisan batuan sedimen) maupun iklim lokal (seperti perbedaan vegetasi).
• Gradien indek panjang sungai (stream length – gradient index)
Indek gradien panjang sungai (SL) dihitung dari peta topografi berdasarkan persamaan: SL = (Δ H/ ΔL) x L.
Di mana: Δ H merupakan beda elevasi dari titik yang akan dihitung.
Δ L merupakan panjang sungai hingga titik yang akan dihitung.
L merupakan total panjang sungai hingga ke arah hulu dengan titik yang akan dihitung.
Adapun metode perhitungannya tercantum pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5 Metode perhitungan gradien indeks panjang sungai (Keller dan
Pinter, 1996).
Indek SL sangat sensitif untuk terhadap perubahan lereng sungai. Tingkatan sensitivitas ini dapat untuk mengevaluasi hubungan antara tektonik aktif, resistensi batuan, dan topografi. Indek SL dapat digunakan untuk identifikasi tektonik aktif saat sekarang, dengan hasil indek SL tinggi. Suatu daerah yang memiliki nilai indek SL rendah bisa juga merupakan tektonik aktif sekarang, contohnya sepanjang lembah linier akibat pergerakan sesar mendatar dan nilai indek SL akan rendah karena sepanjang lembah telah hancur akibat pergerakan sesar mendatar.
• Pegunungan muka (mountain front sinuosity).
Pegunungan muka (mountain front sinuosity) merupakan rangkaian pegunungan yang terdapat pada bagian depan/muka. Pegunungan muka (Smf) dapat dihitung menggunakan persamaan: Smf = Lmf / Ls.
Lmf adalah panjang pegunungan muka sepanjang bagian bawah.
Ls adalah panjang secara lurus pegunungan muka.
Gambar 6 Metode perhitungan pegunungan muka (Keller dan Pinter,
1996).
Smf merupakan suatu indek yang mencerminkan keseimbangan antara gaya/ kekuatan erosi yang mempunyai kecenderungan memotong sepanjang lekukan pegunungan muka dan kekuatan tektonik yang menghasilkan secara langsung pegunungan muka dan bertepatan dengan zona sesar aktif yang mencerminkan tektonik aktif. Smf dengan nilai rendah berkaitan dengan tektonik aktif dan pengangkatan secara langsung. Apabila kecepatan pengangkatan berkurang, maka proses erosi akan memotong pegunungan muka secara tak beraturan dan nilai Smf akan semakin bertambah. Smf sangat mudah untuk dihitung dari peta topografi atau foto udara dengan skala besar dan resolusi tinggi. Apabila menggunakan skala kecil, maka lekukan pegunungan muka yang berbentuk tidak teratur tidak akan tercermin dengan baik.
• Perbandingan lebar dan tinggi lembah (ratio of valley floor width to valley height)
Rasio lebar dan tinggi lembah (Vf) diekspresikan dengan persamaan
Vf = 2 Vfw / ( Eld – Esc ) + ( Erd – Esc )
Vfw adalah lebar dasar lembah.
Eld dan Erd adalah elevasi bagian kiri dan kanan lembah.
Esc adalah elevasi dasar lembah.
Nilai Vf tinggi berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan rendah, sehingga sungai akan memotong secara luas pada dasar lembah dan bentuk lembah akan semakin melebar. Sedangkan nilai Vf rendah akan merefleksikan lembah dalam dan mencerminkan penambahan aktivitas sungai, hal ini berasosiasi dengan kecepatan pengangkatan. Gambar 7 menampilkan metode perhitungan Vf.
Gambar 7 Metode perhitungan rasio lebar dan tinggi lembah (Keller dan
Pinter, 1996).
Referensi :
Keller, E.A., and Pinter, N. 1996. Active tectonic earthquake, uplift and landscape, Prentice hall, Upper saddle river, New Jersey.
Langganan:
Postingan (Atom)